Isu seputar revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali mencuat ke permukaan dan mengundang perhatian publik. Dalam dinamika politik dan keamanan nasional, perubahan pada regulasi yang menyangkut institusi militer tentu menjadi perhatian besar, tak hanya bagi kalangan akademisi dan pengamat, tetapi juga bagi masyarakat luas.
Pertanyaannya kini, apakah revisi UU TNI akan membuka jalan kembali pada praktik dwifungsi TNI seperti era Orde Baru? Ataukah ini murni strategi untuk memperkuat institusi pertahanan negara dalam konteks modern?
Apa yang Sebenarnya Diubah?
Poin paling menonjol dari wacana revisi ini adalah usulan perpanjangan usia pensiun bagi perwira tinggi TNI. Selama ini, masa pensiun jenderal aktif tergolong singkat, sehingga sering kali terjadi rotasi yang terlalu cepat. Hal ini dinilai tidak memberi cukup waktu untuk menerapkan strategi jangka panjang dalam pembinaan organisasi militer.
Dengan perpanjangan usia pensiun, para petinggi TNI diharapkan dapat menyelesaikan program-program penting dan menjalankan tugasnya secara lebih optimal. Namun, langkah ini menimbulkan spekulasi: benarkah ini hanya soal usia, atau ada agenda lain yang tersembunyi?
Dwifungsi TNI: Bayangan Masa Lalu yang Masih Membekas
Dwifungsi TNI—sebuah istilah yang merujuk pada keterlibatan militer dalam urusan sipil dan politik—pernah menjadi simbol dominasi militer di Indonesia pada masa lalu. Kala itu, banyak perwira aktif menduduki posisi strategis di pemerintahan, parlemen, bahkan dunia usaha.
Reformasi 1998 menjadi tonggak penting dalam upaya memisahkan peran militer dari urusan sipil. Sejak saat itu, TNI secara bertahap dikembalikan ke barak, dan struktur politik Indonesia diarahkan pada supremasi sipil.
Maka tak heran, ketika wacana revisi UU TNI mencuat, sebagian pihak langsung mengaitkannya dengan potensi kembalinya dwifungsi. Kecurigaan ini diperkuat oleh isu penempatan prajurit aktif di jabatan-jabatan sipil tertentu.
Penempatan Perwira TNI di Jabatan Sipil, Apa Batasnya?
Salah satu pasal yang jadi perbincangan hangat adalah kebijakan yang memungkinkan perwira TNI menduduki posisi tertentu di luar struktur militer, seperti di lembaga penanggulangan bencana, intelijen, maupun badan pencarian dan pertolongan.
Yang menarik, perwira tersebut diharuskan mengajukan pensiun dini sebelum resmi menjabat. Di atas kertas, ini terlihat sebagai bentuk pemisahan yang jelas antara peran militer dan sipil. Namun, kritik tetap muncul. Banyak yang menilai bahwa budaya birokrasi Indonesia belum sepenuhnya mampu menjaga jarak antara kepentingan politik dan struktur militer.
Apakah ini celah yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali pengaruh militer di panggung sipil? Ataukah justru ini adalah bentuk adaptasi fungsional terhadap tantangan keamanan non-tradisional yang semakin kompleks?
Konteks Global: Militer Bukan Lagi Sekadar “Barak dan Senjata”
Di era modern, peran militer tak melulu soal perang atau pertahanan. Dalam berbagai negara, militer justru dilibatkan dalam tugas-tugas non-militer seperti penanganan bencana, krisis kesehatan, hingga urusan diplomasi.
Tren ini tak bisa dihindari. Dunia bergerak cepat, dan ancaman pun datang dari berbagai arah—terorisme, pandemi, bencana alam, hingga serangan siber. Dalam konteks ini, kehadiran personel militer di instansi tertentu mungkin bukan ancaman, melainkan solusi praktis.
Namun tetap, batasannya harus jelas. Supremasi sipil adalah pilar utama demokrasi. Keterlibatan militer dalam urusan sipil boleh jadi masuk akal, asalkan tetap dalam koridor yang tidak menimbulkan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Apa Kata Publik?
Respons masyarakat terhadap isu ini cukup beragam. Sebagian kalangan menyambut baik perpanjangan usia pensiun dan penempatan perwira dalam lembaga tertentu. Mereka melihatnya sebagai langkah strategis untuk memaksimalkan potensi SDM unggul dari lingkungan militer.
Namun, kelompok lainnya tetap waspada. Mereka khawatir kebijakan ini hanya menjadi pintu masuk bagi kepentingan tertentu yang ingin memperluas pengaruh militer di ruang publik. Kekhawatiran ini tidak bisa dianggap remeh, mengingat sejarah Indonesia yang pernah mengalami dominasi militer dalam berbagai aspek kehidupan bernegara.
Supremasi Sipil Tidak Bisa Ditawar
Dalam sistem demokrasi modern, supremasi sipil di atas militer adalah prinsip yang tak bisa diganggu gugat. Presiden, sebagai pemimpin tertinggi angkatan bersenjata, harus memastikan bahwa segala kebijakan terkait militer tetap berada dalam kerangka konstitusi dan prinsip demokrasi.
Pengawasan terhadap keterlibatan militer dalam urusan non-militer harus diperkuat. Mekanisme check and balance harus berjalan, baik melalui legislatif, masyarakat sipil, maupun lembaga pengawas independen. Tanpa ini, risiko penyimpangan tetap terbuka.
Mengapa Artikel Ini Penting untuk Kamu Baca?
Isu revisi UU TNI bukan hanya urusan elit politik dan militer. Ini menyangkut masa depan demokrasi kita. Apakah kamu sebagai warga negara ingin melihat militer kembali masuk ke ranah sipil secara luas? Atau kamu lebih setuju pada pendekatan terbatas dengan kontrol ketat?
Keterlibatan masyarakat dalam diskusi seperti ini sangat penting. Jangan hanya menjadi penonton. Pahami isu, cari informasi dari berbagai sumber, dan suarakan pendapatmu. Karena pada akhirnya, negara ini bukan milik segelintir orang, tapi milik kita semua.
Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan
Agar kamu lebih kritis dalam melihat isu revisi UU TNI, berikut beberapa pertanyaan yang bisa kamu pikirkan:
- Apa urgensi sebenarnya dari perpanjangan usia pensiun?
- Apakah penempatan perwira di lembaga sipil benar-benar diperlukan?
- Siapa yang akan mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang?
- Apakah ada mekanisme hukum yang menjamin keterlibatan militer tetap dalam batas yang jelas?
- Bagaimana dampaknya terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia?
Harapan ke Depan
Masyarakat tentu berharap agar revisi UU TNI tidak hanya memperkuat institusi pertahanan, tapi juga memperkuat prinsip-prinsip demokrasi. Reformasi yang sudah dibangun selama lebih dari dua dekade tidak boleh mundur hanya karena kepentingan pragmatis jangka pendek.
Sudah saatnya bangsa ini bersikap bijak. Mengakui pentingnya peran militer dalam konteks pertahanan dan keamanan, tanpa harus mengorbankan prinsip demokrasi dan supremasi sipil yang sudah susah payah diraih.
Penutup: Waspada, Tapi Jangan Paranoid
Revisi UU TNI adalah momen penting dalam sejarah ketatanegaraan kita. Tidak ada salahnya untuk waspada, tapi jangan juga langsung menuduh bahwa semua ini adalah upaya terselubung menghidupkan kembali militerisme. Yang terpenting, kita sebagai warga negara harus tetap terlibat, kritis, dan aktif menyuarakan apa yang menurut kita benar.
Demokrasi yang sehat dibangun dari partisipasi. Jangan diam ketika masa depan bangsa sedang dipertaruhkan.