Fenomena flexing atau kebiasaan pamer di media sosial seolah tak pernah surut. Dari unggahan liburan mewah, koleksi barang branded, hingga pencapaian pribadi, hampir setiap hari kita menemui konten yang bernuansa “lihat, ini yang aku punya”. Namun, jika ditelisik lebih jauh, flexing tidak selalu sekadar menunjukkan harta atau gaya hidup berlebihan. Ada berbagai tujuan di baliknya yang ternyata cukup kompleks dan menarik untuk dibahas.
Artikel ini mencoba menyingkap tujuh alasan mendasar mengapa orang melakukan flexing di dunia maya. Mulai dari kebutuhan psikologis hingga strategi membangun citra, berikut ulasan lengkapnya.
1. Ekspresi Identitas Diri
Media sosial kini bukan sekadar ruang berbagi informasi, melainkan juga panggung untuk menampilkan identitas. Flexing dapat menjadi medium seseorang untuk menunjukkan siapa dirinya, apa yang ia sukai, serta nilai apa yang ingin ditonjolkan.
Misalnya, seorang pencinta otomotif kerap mengunggah mobil koleksinya, bukan semata-mata untuk pamer, melainkan ingin memperlihatkan bahwa dunia otomotif adalah bagian dari dirinya. Begitu pula dengan pencinta kuliner yang mengunggah hasil masakan sendiri. Mereka ingin identitasnya terbaca jelas oleh orang lain.
Identitas digital inilah yang sering kali membuat seseorang merasa lebih percaya diri karena sesuai dengan citra yang ingin dibangun.
2. Merayakan Pencapaian
Flexing juga bisa berfungsi sebagai cara untuk merayakan pencapaian. Bagi sebagian orang, memposting hasil kerja keras adalah bentuk apresiasi terhadap diri sendiri.
Seorang karyawan yang baru dipromosikan bisa saja mengunggah foto dengan caption sederhana seperti “akhirnya sampai juga di tahap ini”. Unggahan itu bukan sekadar ingin mendapat perhatian, tetapi juga bentuk pengakuan atas jerih payah yang telah ditempuh.
Pencapaian yang dibagikan sering kali menular dan menjadi motivasi bagi orang lain. Banyak pengikut yang justru merasa terinspirasi untuk bekerja lebih keras karena melihat kesuksesan orang lain.
3. Membangun Personal Branding
Tak sedikit orang yang menggunakan flexing sebagai strategi personal branding. Di era digital, citra diri sangat berharga. Seseorang yang menampilkan gaya hidup sukses, profesional, atau berkelas di media sosial bisa meningkatkan kepercayaan publik terhadap dirinya.
Contohnya, seorang pengusaha yang rutin membagikan perjalanan bisnisnya sekaligus gaya hidupnya yang mapan akan lebih mudah menarik calon investor atau mitra kerja. Begitu pula seorang konten kreator yang menampilkan pencapaiannya, mereka bisa lebih dipercaya oleh brand untuk diajak bekerja sama.
Personal branding melalui flexing ini adalah cara modern untuk membuktikan eksistensi.
4. Menunjukkan Profesi yang Menghasilkan
Flexing tidak selalu berhubungan dengan barang mewah. Ada kalanya seseorang hanya ingin menunjukkan bahwa profesinya bisa membawa hasil yang nyata.
Seorang desainer grafis yang memposting karya serta penghargaan yang diperoleh, misalnya, sedang berusaha menegaskan bahwa profesinya tidak bisa dipandang sebelah mata. Unggahan itu juga bisa menjadi bentuk edukasi bahwa profesi kreatif mampu memberikan penghasilan stabil.
Dengan cara ini, flexing justru bisa menginspirasi banyak orang untuk lebih percaya pada pilihan karier mereka.
5. Bukti Kemandirian dan Kedewasaan
Ada pula yang menggunakan flexing untuk menunjukkan kemandirian. Seorang mahasiswa yang baru pindah ke kota besar mungkin merasa bangga ketika bisa hidup mandiri, lalu mengunggah fotonya di tempat tinggal sederhana dengan caption penuh semangat.
Unggahan seperti itu memberi pesan bahwa ia mampu berdiri di atas kaki sendiri. Bagi sebagian orang, hal kecil semacam ini menjadi simbol kedewasaan yang layak untuk ditunjukkan ke dunia.
Flexing dalam bentuk ini bisa lebih mengarah pada ekspresi emosional daripada sekadar materi.
6. Kebutuhan Akan Validasi
Tak dapat dipungkiri, media sosial adalah ruang yang sarat validasi. Likes, komentar, dan jumlah pengikut sering kali dianggap sebagai ukuran nilai diri.
Banyak orang melakukan flexing karena merasa kurang diapresiasi di dunia nyata. Dengan memamerkan sesuatu di media sosial, mereka berharap mendapatkan pengakuan dan perhatian.
Ketika ratusan komentar positif berdatangan, perasaan dihargai pun muncul. Walau bersifat eksternal, validasi semacam ini bisa memberi dorongan semangat untuk menjalani hari.
7. Meningkatkan Rasa Percaya Diri
Alasan terakhir yang cukup penting adalah soal kepercayaan diri. Flexing bisa menjadi cara seseorang menutupi rasa kurang percaya diri yang dimilikinya.
Ketika unggahan mendapat respons positif, rasa inferior perlahan terkikis. Bagi mereka yang sering merasa tidak cukup baik, pujian di dunia maya bisa menjadi penopang mental.
Namun, tentu saja, menjadikan flexing sebagai satu-satunya sumber percaya diri tidak ideal. Yang lebih sehat adalah menjadikannya pelengkap, bukan inti dari harga diri.
Fenomena Dua Sisi
Flexing adalah fenomena yang memiliki dua wajah. Di satu sisi, ia bisa menjadi media ekspresi diri, sarana inspirasi, hingga strategi profesional. Namun, di sisi lain, ia juga bisa menjebak seseorang dalam lingkaran validasi semu yang tak pernah ada habisnya.
Keseimbangan adalah kunci. Selama dilakukan dengan niat positif dan tidak merugikan orang lain, flexing bisa menjadi bentuk komunikasi yang sehat. Tetapi, jika sudah berlebihan hingga menimbulkan rasa iri, cemas, atau terjebak dalam obsesi, maka perlu diwaspadai.
Flexing di Era Digital: Tren yang Tak Bisa Dihindari
Tren flexing tampaknya tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Dengan terus berkembangnya platform media sosial, orang-orang akan selalu punya cara baru untuk menampilkan diri.
Apalagi, generasi muda semakin terbiasa menganggap media sosial sebagai perpanjangan dari kehidupan nyata. Bagi mereka, menunjukkan pencapaian di dunia maya sama pentingnya dengan merayakannya di dunia nyata.
Di masa depan, flexing bisa jadi berkembang menjadi bentuk komunikasi visual yang lebih kreatif. Bukan hanya pamer barang, melainkan juga pamer ide, pencapaian sosial, atau kontribusi positif.