Di tengah kepercayaan publik yang semakin goyah terhadap media arus utama, satu kasus mencuat dan langsung jadi sorotan nasional. Bukan karena isu politik biasa, tapi karena adanya dugaan transaksi haram yang menyeret nama besar di dunia penyiaran. Skandal ini menyeret Direktur Pemberitaan dari sebuah stasiun TV ternama—yang disebut-sebut menerima bayaran fantastis demi menyebarkan narasi negatif terhadap lembaga negara. Fakta-fakta yang terungkap sungguh mencengangkan dan membuka mata kita semua: bahwa opini publik bisa dibentuk, dibeli, bahkan dikendalikan dengan uang.
Bayaran Fantastis untuk Menggiring Opini
Nominalnya mengejutkan—Rp478,5 juta. Bukan angka yang kecil, apalagi bila dikaitkan dengan aktivitas penyiaran yang seharusnya berpijak pada etika jurnalistik. Uang tersebut diduga diberikan oleh dua advokat kepada sang direktur TV untuk “misi khusus” yang sangat sensitif: menggiring opini masyarakat agar menilai negatif kerja Kejaksaan Agung dalam pengusutan kasus besar.
Bukan hanya menyampaikan fakta, konten-konten yang dihasilkan disebut punya satu misi: membentuk persepsi negatif. Dalam dunia media, narasi adalah senjata. Dan jika senjata itu bisa dibeli, maka yang jadi korban adalah publik luas—yang mempercayai apa yang mereka tonton setiap malam di layar kaca.
Strategi Terstruktur: Dari TV ke Media Sosial
Skema ini ternyata tidak sederhana. Ini bukan sekadar satu-dua liputan pesanan, tapi sebuah kampanye sistematis. Kontennya dipublikasikan tak hanya melalui televisi, tapi juga diperluas ke media online, media sosial, hingga forum diskusi publik. Mulai dari talkshow, podcast, seminar, bahkan demonstrasi di lapangan yang sengaja dikemas agar menarik perhatian media.
Materi yang digunakan tampak profesional—diedit rapi, diatur emosinya, dan disebar dengan strategi yang rapi. Tujuannya jelas: menciptakan kesan seolah-olah Kejaksaan Agung sedang melakukan penindakan yang keliru. Dengan begitu, proses hukum terhadap pihak-pihak tertentu yang sedang diperiksa jadi terkesan tidak objektif di mata masyarakat.
Bagaimana Opini Bisa Dibentuk dengan Uang?
Yang membuat publik makin terguncang adalah kesadaran bahwa opini ternyata bisa dibentuk dengan uang. Sebagian besar masyarakat masih menganggap berita sebagai sesuatu yang netral dan faktual. Tapi kenyataannya, jika seorang pemilik atau pimpinan redaksi media bisa digerakkan dengan transfer ratusan juta rupiah, maka akurasi dan objektivitas jadi sesuatu yang rawan.
Dalam skandal ini, tidak hanya kredibilitas stasiun televisi yang dipertaruhkan, tapi juga masa depan industri media secara luas. Jika satu lembaga bisa disuap untuk mendiskreditkan lembaga lain, maka di mana batas antara kebenaran dan rekayasa?
Apa Motifnya?
Uang memang jadi pemicu utama, tapi tak bisa dipungkiri bahwa kepentingan lain turut bermain. Dalam proses hukum yang menyentuh kasus kakap seperti korupsi komoditas tambang dan impor gula, banyak pihak yang merasa terancam. Ketika jalur hukum tak bisa mereka kendalikan, maka strategi bergeser ke ruang publik: opini harus dibentuk sedemikian rupa agar mereka yang disidik terlihat sebagai korban.
Maka muncullah narasi tandingan: media mulai menyudutkan pihak penegak hukum, memunculkan “pakar” yang meragukan tindakan kejaksaan, hingga memviralkan potongan video yang sengaja diambil keluar konteks.
Akibat Jangka Panjang
Jika dibiarkan, praktik ini bisa menjadi preseden buruk. Bukan hanya untuk integritas jurnalisme, tapi juga bagi demokrasi. Bayangkan jika setiap proses hukum bisa diganggu dengan berita pesanan. Maka tak akan ada lagi kepercayaan publik pada lembaga mana pun—baik itu kejaksaan, pengadilan, hingga media itu sendiri.
Lebih parah lagi, praktik ini bisa merembet ke isu lain: pemilu, konflik sosial, bahkan kebijakan pemerintah. Jika membentuk persepsi bisa dilakukan hanya dengan uang, maka pemilik uanglah yang akan menang dalam setiap narasi. Dan rakyat akan terus jadi penonton yang dikendalikan dari balik layar.
Tanggung Jawab Media: Netral atau Bayaran?
Skandal ini seolah menjadi alarm keras bagi industri penyiaran. Saat dunia sudah mulai meninggalkan media konvensional karena alasan kredibilitas, justru sebagian oknum malah mengukuhkan stigma buruk terhadap media mainstream.
Dalam situasi seperti ini, tanggung jawab media adalah kembali pada akar: menyampaikan informasi secara jujur, tanpa tekanan atau pesanan. Dunia jurnalistik tidak bisa dibangun di atas dasar transaksional, karena yang dipertaruhkan adalah kepercayaan jutaan penonton yang tak tahu bahwa mereka sedang diarahkan ke sudut tertentu oleh uang.
Masyarakat Perlu Lebih Cerdas
Salah satu hikmah dari kasus ini adalah pentingnya literasi media. Masyarakat tidak bisa lagi hanya jadi penonton pasif. Setiap informasi yang diterima harus diuji, dibandingkan, dan diverifikasi. Apalagi jika informasi itu menyangkut isu sensitif atau tiba-tiba viral tanpa penjelasan yang masuk akal.
Kemampuan untuk membedakan informasi yang jujur dengan narasi pesanan akan jadi senjata penting di era informasi. Karena jika kita lengah, maka kita bisa dengan mudah dijadikan alat oleh mereka yang punya kekuatan uang tapi tak punya kepedulian terhadap kebenaran.
Siapa Lagi yang Terlibat?
Publik kini menanti kelanjutan penyelidikan. Apakah ada pihak lain dari media yang ikut menerima “pesanan”? Apakah ada keterlibatan dari tokoh-tokoh penting di balik narasi ini? Semua itu masih dalam proses pendalaman, dan hasil akhirnya bisa jadi mengejutkan.
Tapi satu hal yang pasti: kasus ini bukan yang pertama dan bisa jadi bukan yang terakhir. Karena selama media masih bisa dibeli, maka selalu ada peluang bagi narasi palsu untuk menjadi “fakta” yang dipercaya masyarakat.
Kesimpulan: Saat Kebenaran Diperjualbelikan
Skandal suap di dunia penyiaran ini mengungkap realitas pahit tentang betapa rentannya kebenaran jika uang bisa mengendalikannya. Ini bukan hanya soal Rp478 juta. Ini soal bagaimana opini dibentuk, bagaimana proses hukum bisa diganggu, dan bagaimana media bisa berubah fungsi jadi alat propaganda.
Masyarakat perlu terus waspada, kritis, dan cerdas dalam menerima informasi. Sementara para pelaku, siapapun mereka, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum—dan di hadapan publik yang sudah muak dijadikan objek manipulasi.