Di balik keindahan pulau Lombok yang terkenal akan pantainya, tersimpan sebuah tradisi kuno yang kini kembali menjadi sorotan publik—kawin culik. Tradisi ini telah lama menjadi bagian dari budaya Suku Sasak, masyarakat adat yang mendiami sebagian besar wilayah di Lombok. Namun di tengah kemajuan zaman dan meningkatnya kesadaran akan hak-hak anak, tradisi ini memunculkan dilema besar: masihkah layak dipertahankan, atau justru harus ditinggalkan?
Artikel ini akan mengupas tuntas asal-usul, proses, nilai-nilai budaya di balik kawin culik, serta mengulas sisi kontroversialnya dalam konteks hukum dan perlindungan anak masa kini. Kita akan menelusuri batas antara pelestarian tradisi dan pelanggaran hak asasi manusia yang semakin tipis seiring perkembangan zaman.
Asal-Usul Tradisi Kawin Culik
Dalam masyarakat Suku Sasak, pernikahan tidak hanya menjadi penyatuan dua insan, tetapi juga simbol keharmonisan antar keluarga dan komunitas. Salah satu bentuk pernikahan adat yang masih dikenal hingga saat ini adalah merarik, atau lebih dikenal oleh masyarakat luas sebagai kawin culik.
Meski terdengar dramatis, kawin culik sejatinya bukan tindakan kriminal seperti namanya. Dalam bentuk aslinya, ini merupakan kesepakatan bersama antara pasangan yang ingin menikah. Sang pria akan membawa lari sang wanita ke rumah kerabatnya sebagai simbol bahwa ia siap meminang. Keesokan harinya, proses negosiasi dengan pihak keluarga wanita dimulai, bukan dalam bentuk konflik, tetapi dalam nuansa adat yang penuh sopan santun.
Namun, seiring waktu, istilah kawin culik mulai mendapatkan stigma negatif karena sering disalahartikan dan disalahgunakan. Tidak jarang, proses ini dilakukan pada anak di bawah umur yang belum siap secara mental maupun fisik untuk menjalani rumah tangga.
Tahapan dalam Kawin Culik
Agar lebih memahami kompleksitas tradisi ini, berikut tahapan yang biasa dilakukan dalam prosesi kawin culik versi adat Suku Sasak:
- Merarik (Penculikan secara adat)
Pasangan muda yang sudah saling sepakat untuk menikah, akan melaksanakan proses merarik. Pada malam hari, sang pria akan ‘menculik’ wanita dari rumahnya dan membawanya ke rumah keluarga pria. - Nyelabar (Pemberitahuan kepada keluarga wanita)
Setelah merarik terjadi, pihak pria wajib memberitahukan kepada kepala dusun dan keluarga wanita bahwa anak mereka telah dibawa dalam rangka pernikahan adat. - Nuntut Wali (Meminta persetujuan pernikahan)
Pihak pria akan mengirim utusan untuk meminta pihak keluarga wanita menjadi wali nikah. Inilah proses diplomatik yang sangat dijunjung dalam budaya Sasak. - Sorong Serah Aji Krame (Upacara adat)
Upacara adat besar digelar yang melibatkan tokoh adat, keluarga besar, dan masyarakat. Ini menjadi momen penting untuk memperkuat ikatan antar keluarga. - Mbales Ones Nae (Balasan silaturahmi)
Setelah resmi menikah, pihak keluarga wanita akan melakukan kunjungan balasan sebagai bentuk restu dan penghormatan.
Simbol Kematangan dan Kemandirian
Salah satu aspek penting dari kawin culik adalah kemampuan sang wanita dalam menenun. Menenun bukan sekadar keahlian kerajinan tangan, tetapi juga menjadi simbol bahwa ia sudah cukup matang dan mandiri untuk berumah tangga. Dalam masyarakat Sasak, seorang gadis belum dianggap dewasa jika belum bisa menenun. Sarung tenun pertamanya akan dijadikan seserahan dalam prosesi pernikahan sebagai tanda kesiapan diri.
Antara Warisan Budaya dan Pelanggaran HAM
Meski penuh makna simbolik dan budaya, praktik kawin culik tidak bisa dipisahkan dari kenyataan pahit yang kini banyak terjadi di lapangan—pernikahan anak.
Banyak kasus di mana pasangan yang menjalani merarik masih di bawah usia 18 tahun. Meski dianggap sah secara adat, hal ini bertentangan dengan hukum nasional. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menyatakan usia minimal pernikahan adalah 19 tahun, baik untuk pria maupun wanita.
Namun, adanya celah dalam budaya seperti merarik sering dimanfaatkan untuk menikahkan anak di bawah umur dengan dalih “sudah sesuai adat”. Padahal, anak-anak tersebut belum memiliki kematangan emosional, ekonomi, dan psikologis untuk menghadapi kehidupan rumah tangga. Akibatnya, banyak pernikahan dini yang berujung pada perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, hingga putus sekolah.
Dampak Psikologis dan Sosial
Praktik kawin culik terhadap anak tidak hanya berdampak secara hukum, tetapi juga psikologis dan sosial. Berikut beberapa dampak negatif yang bisa terjadi:
- Trauma psikologis: Dipaksa menikah di usia muda bisa menyebabkan gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan kehilangan arah hidup.
- Putus pendidikan: Banyak anak perempuan yang harus berhenti sekolah karena sudah menikah, padahal pendidikan adalah hak dasar.
- Ketergantungan ekonomi: Menikah muda tanpa bekal ekonomi yang cukup akan menjerumuskan mereka ke dalam jurang kemiskinan.
- Risiko kesehatan reproduksi: Kehamilan di usia muda sangat berisiko, baik bagi ibu maupun anak yang dikandungnya.
Perlunya Reinterpretasi Tradisi
Tradisi tidak harus ditinggalkan, tetapi perlu disesuaikan. Inilah saatnya masyarakat Sasak dan seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan reinterpretasi terhadap kawin culik.
Beberapa solusi yang dapat dilakukan antara lain:
- Mengedukasi masyarakat tentang batas usia menikah
Tokoh adat dan kepala dusun harus diberi pelatihan agar memahami dampak hukum dan kesehatan dari pernikahan anak. - Menjadikan kemampuan menenun sebagai syarat tetap, namun dengan usia minimum
Budaya menenun bisa tetap dijaga sebagai simbol kedewasaan, tapi harus dipastikan dilakukan oleh mereka yang sudah dewasa secara hukum. - Mengadaptasi merarik menjadi simbolik, bukan literal
Prosesi penculikan dapat diganti dengan seremoni simbolik, tanpa menghilangkan nilai adat. - Melibatkan sekolah dan komunitas dalam literasi budaya
Edukasi tentang tradisi dan dampaknya perlu dimasukkan dalam kurikulum lokal atau kegiatan ekstrakurikuler.
Harapan ke Depan: Tradisi yang Ramah Masa Depan
Pelestarian budaya adalah bagian dari identitas bangsa, tetapi tidak boleh melukai generasi penerus. Kawin culik sebagai bagian dari budaya Sasak harus dimaknai ulang agar tetap menjadi warisan yang membanggakan, bukan momok menakutkan bagi anak-anak di Lombok.
Dengan kolaborasi antara tokoh adat, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan masyarakat umum, perubahan ke arah yang lebih baik bisa dimulai. Budaya bisa berkembang tanpa kehilangan esensinya, dan masa depan generasi muda bisa diselamatkan tanpa menghapus jejak sejarah.