Fenomena mengejutkan tengah mengguncang dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 700 dosen CPNS yang sebelumnya dinyatakan lulus seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil justru memilih mundur secara serempak sebelum resmi menjalankan tugasnya. Peristiwa ini langsung menjadi sorotan publik dan menimbulkan berbagai spekulasi tentang penyebab di balik keputusan massal tersebut.
Apakah ini sinyal bahwa sistem perekrutan CPNS perlu dievaluasi ulang? Atau justru menjadi cermin bahwa generasi muda kini mulai mempertanyakan masa depan sebagai aparatur sipil negara?
Realita Baru: Menjadi PNS Tidak Lagi Jadi Tujuan Akhir
Selama ini, banyak orang menganggap bahwa menjadi PNS adalah salah satu puncak karier yang menjanjikan keamanan finansial, kestabilan hidup, hingga status sosial yang cukup terhormat. Tapi kenyataannya, keputusan mundurnya ratusan dosen CPNS ini menunjukkan bahwa pandangan tersebut mulai bergeser.
Generasi muda saat ini tampaknya lebih selektif dalam memilih jalur karier. Mereka tak lagi hanya mengejar “jaminan masa depan” dalam bentuk status pegawai negeri. Ada banyak aspek lain yang kini menjadi pertimbangan: kebebasan waktu, pengembangan diri, work-life balance, dan tentu saja gaji yang sepadan dengan beban kerja.
Kenapa Dosen CPNS Memilih Mundur?
Banyak pihak terkejut dengan fenomena ini. Namun jika dilihat lebih dekat, keputusan mundur dari status CPNS dosen ini ternyata punya sejumlah alasan logis yang patut menjadi perhatian:
1. Ketimpangan Gaji dan Beban Kerja
Banyak lulusan doktor dan magister yang lolos seleksi CPNS dosen ternyata menyadari bahwa gaji awal CPNS tidak sepadan dengan beban kerja yang mereka emban. Sebagai dosen, tanggung jawab bukan hanya mengajar, tapi juga meneliti, menulis jurnal ilmiah, melakukan pengabdian masyarakat, hingga mengikuti berbagai kegiatan akademik lainnya.
Ketika gaji yang diterima bahkan lebih kecil dari profesi serupa di sektor swasta atau lembaga internasional, tak heran jika semangat untuk bertahan jadi goyah.
2. Kurangnya Transparansi Informasi
Beberapa peserta mengaku baru mengetahui detail pekerjaan, penempatan lokasi, dan hak-hak mereka setelah lolos seleksi. Kurangnya informasi yang transparan sejak awal membuat ekspektasi dan kenyataan tidak berjalan seimbang. Banyak yang mengira akan ditempatkan di kota besar, ternyata ditugaskan di wilayah terpencil tanpa fasilitas memadai.
3. Proses Seleksi yang Tidak Mewakili Kesiapan Karier
Sebagian peserta CPNS mendaftar karena dorongan sosial atau hanya sebagai “cadangan” saat belum mendapatkan pekerjaan lain. Begitu ada tawaran yang lebih baik dari perusahaan swasta, lembaga riset asing, atau startup digital, mereka memilih meninggalkan status CPNS meski sudah dinyatakan lulus.
4. Ketidaksesuaian Visi Karier
Tak semua sarjana atau lulusan S2/S3 bermimpi jadi dosen seumur hidup. Banyak yang ingin mengejar passion di luar dunia akademik. Dunia startup, kreatif, dan teknologi kini menawarkan lebih banyak ruang berekspresi bagi mereka yang haus tantangan.
Dampak Besar Bagi Dunia Pendidikan
Mundurnya 700 dosen CPNS tentu bukan angka yang kecil. Ini bukan hanya soal formasi kosong, tapi dampaknya langsung terasa pada kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.
– Penurunan Kualitas Pengajaran
Banyak perguruan tinggi di daerah sangat mengandalkan keberadaan dosen CPNS untuk meningkatkan rasio dosen-mahasiswa. Ketika formasi yang seharusnya terisi malah kosong, mahasiswa pun yang akhirnya terkena imbas: keterbatasan dosen, kurangnya bimbingan, hingga jadwal kuliah yang berantakan.
– Biaya Seleksi yang Terbuang Percuma
Proses seleksi CPNS melibatkan anggaran besar dari negara. Dari sistem CAT (Computer Assisted Test), tim penilai, hingga pelatihan dasar, semua butuh biaya. Ketika peserta justru mengundurkan diri setelah lulus, anggaran yang sudah dikeluarkan menjadi sia-sia.
– Menurunnya Minat Calon Pelamar Berkualitas
Fenomena ini juga bisa memunculkan efek jera. Calon peserta seleksi CPNS di masa depan mungkin akan lebih ragu untuk ikut, apalagi jika mereka melihat bahwa banyak yang mundur karena ketidakpuasan terhadap sistem.
Apakah Pemerintah Kecolongan?
Melihat angka pengunduran diri yang besar, muncul pertanyaan: Apakah pemerintah sudah melakukan antisipasi yang cukup?
Salah satu kritik utama adalah tidak adanya mekanisme penyaringan psikologis dan motivasional secara mendalam. Sistem seleksi CPNS selama ini masih berfokus pada aspek akademik dan administratif. Padahal, untuk posisi seperti dosen, komitmen dan kecocokan visi sangat penting.
Selain itu, kurangnya simulasi atau pengenalan dunia kerja sejak awal membuat banyak peserta “kaget” saat mengetahui kenyataan lapangan.
Konsekuensi Bagi yang Mundur
Pemerintah tak tinggal diam. Untuk memberikan efek jera, kini diterapkan berbagai sanksi bagi peserta yang mengundurkan diri setelah dinyatakan lulus.
Beberapa sanksi yang diberlakukan di antaranya:
- Larangan ikut seleksi CPNS/PPPK selama 2 tahun anggaran
- Denda administratif hingga puluhan juta rupiah
- Black list internal oleh instansi penyelenggara
Namun tetap saja, beberapa peserta merasa sanksi tersebut tidak sebanding dengan kebebasan yang mereka peroleh setelah lepas dari beban menjadi PNS.
Apakah Sistem CPNS Perlu Dirombak?
Fenomena ini bisa menjadi momentum introspeksi. Sudah saatnya sistem CPNS – khususnya di sektor pendidikan tinggi – dirombak agar lebih adaptif terhadap perubahan zaman dan kebutuhan SDM unggul.
Beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan:
- Rekrutmen berbasis minat dan visi jangka panjang
- Transparansi maksimal terkait hak, kewajiban, lokasi penempatan, dan beban kerja
- Insentif menarik untuk posisi-posisi krusial seperti dosen di daerah 3T
- Skema gaji yang kompetitif dengan sektor swasta
Pendidikan Tinggi Butuh Daya Tarik Baru
Jika Indonesia ingin mendorong kemajuan pendidikan tinggi, maka posisi dosen harus dikemas ulang menjadi profesi yang menjanjikan, terhormat, dan memberi ruang berkembang. Dunia akademik seharusnya menjadi arena yang hidup, dinamis, dan terbuka untuk inovasi, bukan hanya sekadar zona nyaman yang kaku.
Penutup: Fenomena Ini Harus Jadi Wake-Up Call
Mundurnya ratusan dosen CPNS tidak boleh dianggap sebagai sekadar anomali. Ini adalah wake-up call bagi seluruh pihak, mulai dari pemerintah, perguruan tinggi, hingga masyarakat luas, bahwa sistem rekrutmen aparatur negara harus mulai menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Kita tengah memasuki era di mana generasi muda lebih memilih jalur yang memberi makna, bukan hanya stabilitas. Bila dunia pendidikan ingin terus menarik talenta terbaik, maka sistemnya pun harus berevolusi — bukan hanya dalam seleksi, tapi juga dalam budaya dan penghargaan terhadap profesi dosen itu sendiri.