Di sebuah distrik terpencil, seorang bocah laki-laki berusia delapan tahun ditemukan hidup dalam kondisi yang sangat memilukan. Bukan bersama keluarga, bukan pula dalam bimbingan guru di sekolah, melainkan dibesarkan oleh sekelompok anjing di rumah panggung kayu yang nyaris roboh. Anak itu tidak bisa berbicara layaknya manusia. Ia justru berkomunikasi dengan menggonggong seperti anjing.
Peristiwa ini menggegerkan masyarakat setempat dan memantik perdebatan nasional soal tanggung jawab negara terhadap anak-anak yang terlantar. Bagaimana seorang anak manusia bisa bertahun-tahun hidup tanpa pendidikan, tanpa perawatan, dan bahkan tanpa pengawasan, sampai ia tidak mengenali dirinya sendiri sebagai bagian dari masyarakat?
Terlupakan Sejak Kecil
Anak laki-laki itu, sebut saja A, lahir dari lingkungan yang sarat masalah. Ibunya diketahui mengalami kecanduan narkoba sejak lama. Dalam kesehariannya, sang ibu menghabiskan waktu meminta-minta di tempat umum dan tidur di mana saja, meninggalkan anaknya tanpa asuhan, makanan cukup, atau kasih sayang.
Selama bertahun-tahun, A hidup bersama enam ekor anjing di dalam rumah panggung yang nyaris tak layak huni. Tak ada ranjang, tak ada listrik, tak ada makanan bergizi. Ia hanya berteman dengan anjing-anjing peliharaan keluarganya. Tak ada interaksi manusia lain yang cukup intens untuk membuatnya berkembang secara normal.
Meniru Dunia yang Ia Tahu
Karena tak pernah mendapatkan stimulasi bahasa dari orang dewasa, A belajar berkomunikasi dari satu-satunya makhluk hidup yang selalu bersamanya: anjing. Ia meniru cara mereka berjalan, duduk, dan bahkan bersuara. Ketika pertama kali ditemukan, A lebih sering menggonggong daripada berbicara.
Kondisi ini menjadi sangat mencolok ketika tim penyelamat mencoba mengajaknya berkomunikasi. Ia tampak tidak mengerti kata-kata. Ia merespons dengan cara menggonggong atau bersembunyi di balik kaki anjing peliharaannya. Pola perilaku yang terbentuk selama bertahun-tahun itu tidak mudah untuk dihapus.
Tersingkir dari Pendidikan
Yang lebih memilukan, A ternyata tidak pernah benar-benar mengenyam pendidikan. Ia sempat masuk sekolah dasar hanya satu kali pada kelas 1, tapi tak pernah kembali. Dana bantuan pendidikan yang sebenarnya disediakan pemerintah tidak pernah digunakan oleh keluarganya.
Alasan tidak masuk sekolah pun menyedihkan. Ibu dan kakaknya sibuk dengan urusan masing-masing dan tidak pernah mengantar A. Bahkan saat diberi uang untuk kebutuhan sekolah, dana tersebut justru digunakan untuk membeli hal lain yang tidak terkait pendidikan.
Lingkungan yang Menutup Mata
Warga sekitar mengaku sudah lama tahu bahwa keluarga tersebut bermasalah. Namun tak banyak yang berani ikut campur. Beberapa bahkan secara terang-terangan menjauhkan anak-anak mereka dari A karena takut terpengaruh perilaku ibunya yang kasar dan diduga pengguna narkoba.
Ironisnya, sikap menjauhkan diri dari anak tersebut justru memperparah isolasinya. Ia tumbuh tanpa teman sebaya, tanpa komunikasi sehat, dan tanpa dukungan sosial sedikit pun. Dunia sosialnya hanyalah anjing-anjing di rumahnya yang setia menemaninya tidur, makan, dan bermain.
Penemuan yang Menggugah Hati
Kisah A akhirnya terbongkar setelah kepala sekolah di daerah tersebut merasa curiga dengan data siswa yang tidak pernah hadir. Ia lalu bekerja sama dengan aktivis perlindungan anak untuk menyelidiki lebih lanjut. Tim gabungan dari lembaga pemerintah dan yayasan perlindungan anak pun dikirim ke rumah keluarga itu.
Saat masuk ke dalam rumah, kondisi mengenaskan langsung terlihat. Anak laki-laki kecil dengan pakaian lusuh duduk di lantai kayu yang lapuk, dikelilingi anjing-anjing yang menjilati wajah dan tangannya. Ia terlihat tenang bersama mereka, tapi cemas saat ada manusia mendekat.
Rehabilitasi dan Harapan Baru
Setelah penyelamatan dilakukan, A langsung dibawa ke rumah perlindungan anak. Ia kini berada dalam pengawasan tenaga medis, psikolog, dan guru pendamping khusus. Fokus utama saat ini adalah mengembalikan kemampuan bahasanya, serta membentuk kepercayaan dirinya sebagai seorang anak.
Program rehabilitasi dilakukan secara bertahap. Diajak bermain, diberikan cerita bergambar, dan diperkenalkan dengan aktivitas-aktivitas dasar anak seusianya. Tantangan terbesar adalah membantunya mengenal manusia sebagai teman, bukan sebagai ancaman.
Sisi Positif: Cinta Anjing yang Tak Pernah Pergi
Meski banyak yang menyorot sisi tragis dari cerita ini, satu hal yang patut diapresiasi adalah peran anjing-anjing tersebut. Hewan-hewan itu mungkin tak mampu memberikan nutrisi atau pendidikan, tapi mereka memberikan kehangatan, kebersamaan, dan rasa aman.
Di saat manusia tak hadir dalam hidup A, anjing-anjing inilah yang setia berada di sisinya. Mereka tidak menghakimi, tidak menjauhi, dan tidak meninggalkannya. Bisa dibilang, mereka menjadi “keluarga pengganti” dalam definisi yang paling murni.
Tantangan Reintegrasi Sosial
Namun perjuangan belum selesai. Setelah proses pemulihan selesai, A akan dihadapkan dengan tantangan baru: kembali ke masyarakat. Apakah masyarakat siap menerimanya? Akankah stigma tetap melekat? Atau justru ada peluang baru untuk membuka jalan inklusi?
Banyak pihak berharap pemerintah dan lembaga sosial bisa membangun jembatan agar anak-anak seperti A tidak lagi menjadi korban sistem. Program sekolah alternatif, penguatan komunitas, dan pelatihan orang tua menjadi bagian penting dari solusi jangka panjang.
Menyoroti Akar Masalah
Kasus ini juga menjadi refleksi mendalam soal penanggulangan narkoba. Ketika seorang ibu kehilangan kendali akibat kecanduan, dampaknya tak hanya ke dirinya sendiri, tapi juga ke anak, keluarga, dan masyarakat. Sayangnya, sistem pencegahan dan rehabilitasi narkoba di banyak tempat masih lemah dan terfragmentasi.
Selain itu, absennya sistem pelaporan masyarakat terhadap anak yang tidak sekolah juga patut jadi evaluasi. Jika semua pihak aktif peduli, mungkin A tak perlu menunggu sampai delapan tahun untuk diselamatkan.
Penutup: Jangan Biarkan Anak Tumbuh Sendirian
Kisah A adalah alarm keras bagi siapa pun yang peduli terhadap masa depan anak-anak. Anak-anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tapi juga komunitas dan negara. Setiap anak berhak mendapat cinta, pendidikan, makanan, dan lingkungan yang aman untuk tumbuh.
Jangan tunggu sampai mereka hanya bisa menggonggong untuk dimengerti. Jadilah manusia yang hadir, mendengar, dan bertindak. Karena setiap anak, sekecil apa pun, adalah masa depan yang layak diperjuangkan.