Amerika Serikat Resmi Tarik Diri dari UNESCO
Amerika Serikat kembali menarik diri dari keanggotaan UNESCO. Pengumuman ini disampaikan langsung oleh perwakilan pemerintah AS pada pertengahan Juli 2025, dan menjadi pembicaraan hangat di ranah internasional. Keputusan ini bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya, AS pernah keluar dari UNESCO di tahun 1984 dan 2018, dan kini mengulang langkah serupa dengan alasan yang tak jauh berbeda: menyangkut kebijakan politik dan isu Palestina.
Keputusan keluar ini efektif mulai Desember 2026, memberi waktu transisi lebih dari satu tahun. Meski begitu, efek politik dan diplomatik dari langkah ini sudah mulai terasa sejak pengumuman dikeluarkan.
Alasan Utama AS Tarik Keanggotaan
Langkah AS keluar dari UNESCO didasarkan pada tiga alasan utama. Pemerintah AS menganggap organisasi itu sudah terlalu bias dan tidak lagi netral secara politik. Berikut penjabaran tiga alasan yang disampaikan:
1. Pengakuan Palestina Sebagai Negara Anggota
AS menentang pengakuan Palestina sebagai anggota penuh UNESCO sejak 2011. Pemerintah AS menilai bahwa keputusan ini melanggar prinsip diplomasi yang sedang diupayakan melalui jalur bilateral antara Israel dan Palestina. Dengan pengakuan ini, UNESCO dianggap melangkahi konsensus internasional yang belum sepenuhnya menyepakati status kenegaraan Palestina.
Langkah UNESCO tersebut juga berdampak langsung terhadap kontribusi dana dari AS. Pemerintah AS secara otomatis menghentikan pendanaan sejak tahun tersebut, dan kini mengambil langkah lebih jauh dengan keluar sepenuhnya.
2. Tuduhan Bias Anti-Israel dan Anti-Amerika
Selain masalah Palestina, AS juga menyoroti sikap UNESCO yang dinilai semakin menjauh dari prinsip netralitas. Pemerintah AS menuduh organisasi tersebut sering mengadopsi resolusi yang bias terhadap Israel, bahkan menciptakan narasi-narasi yang dianggap merugikan posisi Amerika Serikat dalam isu-isu internasional.
Dalam keterangan resminya, pemerintah AS menyebut UNESCO terlalu banyak diwarnai oleh pengaruh politik yang tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi yang dijunjung tinggi oleh AS.
3. Ketidakcocokan Nilai dalam Agenda Sosial UNESCO
Poin ketiga yang menjadi sorotan adalah adanya program sosial UNESCO yang disebut terlalu progresif dan bertentangan dengan nilai-nilai konservatif AS. Salah satu yang disorot adalah program terkait keberagaman gender, transformasi norma maskulinitas, serta agenda “DEI” (Diversity, Equity, Inclusion) yang dinilai tidak relevan dengan visi kebijakan sosial AS saat ini.
AS menilai bahwa UNESCO terlalu jauh mendorong agenda perubahan sosial yang bersifat globalis, tanpa mempertimbangkan keberagaman nilai lokal dari tiap negara anggota.
Respons Dunia Internasional
Keputusan AS keluar dari UNESCO memicu reaksi beragam dari berbagai negara dan organisasi. Sebagian besar negara anggota menyayangkan keputusan ini, mengingat peran besar yang dimainkan AS dalam pembiayaan dan pengaruh di dalam tubuh UNESCO selama puluhan tahun.
Beberapa negara mendesak agar AS mempertimbangkan ulang keputusan tersebut, mengingat tantangan global yang semakin kompleks di bidang pendidikan, budaya, dan sains. Kehilangan AS sebagai mitra dianggap akan melemahkan kolaborasi internasional yang selama ini sudah terbangun.
Meski demikian, ada juga negara-negara yang memahami posisi AS dan mendukung pendekatan yang lebih selektif dalam kerja sama internasional, terutama dalam hal penentuan agenda yang dinilai politis.
Implikasi terhadap Palestina dan Kawasan Timur Tengah
Langkah AS keluar dari UNESCO tak hanya menjadi perdebatan di ranah diplomatik global, tetapi juga memberi dampak langsung pada dinamika Timur Tengah. Pengakuan UNESCO terhadap Palestina dianggap oleh banyak pihak sebagai bentuk dukungan simbolik terhadap perjuangan rakyat Palestina untuk mendapatkan pengakuan internasional.
Namun, dengan keluarnya AS, tekanan terhadap Palestina juga meningkat. AS memperkuat posisinya sebagai pendukung utama Israel dan mengirim sinyal bahwa mereka tidak akan mentoleransi bentuk pengakuan sepihak yang tidak melibatkan proses diplomatik menyeluruh.
Kondisi ini diperkirakan akan memperumit proses perdamaian yang selama ini berjalan lambat. Tanpa keterlibatan AS dalam lembaga-lembaga internasional seperti UNESCO, diplomasi multilateral berpotensi kehilangan satu aktor kunci dalam proses negosiasi.
Dampak Langsung bagi UNESCO
Kehilangan Amerika Serikat sebagai anggota aktif tentu bukan hal kecil bagi UNESCO. AS selama ini menjadi salah satu penyumbang dana terbesar dan memainkan peran penting dalam pengembangan berbagai program global.
Meski secara teknis pendanaan AS sudah terhenti sejak 2011, keanggotaan AS tetap memberi dampak simbolik dan strategis. Keluar secara resmi akan melemahkan posisi UNESCO dalam beberapa aspek, terutama di bidang diplomasi kebudayaan, kerja sama teknologi, dan inisiatif pendidikan global.
Namun demikian, UNESCO menyatakan tetap akan melanjutkan program-program prioritas tanpa gangguan. Organisasi ini mengklaim telah menyiapkan skema pendanaan alternatif dan menjalin kerja sama baru dengan negara-negara anggota lain.
Posisi Indonesia dan Potensi Pengaruh
Bagi Indonesia, keputusan AS ini patut disikapi dengan hati-hati. Sebagai negara yang aktif mempromosikan budaya dan pendidikan melalui UNESCO, Indonesia dihadapkan pada tantangan baru dalam memposisikan diri di tengah dinamika politik internasional.
Langkah AS bisa memperkuat blok-blok kekuatan dalam UNESCO. Negara-negara berkembang seperti Indonesia dapat memanfaatkan momen ini untuk mengambil peran lebih besar, sekaligus memperluas pengaruh dalam penentuan agenda global, terutama di bidang warisan budaya dan pendidikan inklusif.
Di sisi lain, Indonesia juga perlu menjaga hubungan baik dengan AS dan negara-negara donor lainnya. Keseimbangan diplomatik menjadi kunci agar Indonesia tetap menjadi pemain strategis dalam peta kerja sama global.
Apakah AS Akan Kembali Suatu Hari Nanti?
Pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah AS akan kembali ke UNESCO di masa mendatang? Berdasarkan sejarah, hal ini mungkin terjadi. AS pernah keluar di era Presiden Ronald Reagan pada 1984 dan kembali masuk di era George W. Bush pada 2003. Di bawah Presiden Trump, AS kembali keluar pada 2018, namun kembali bergabung pada masa pemerintahan berikutnya.
Polanya menunjukkan bahwa keputusan ini sangat bergantung pada siapa yang memimpin Gedung Putih. Dengan adanya siklus politik empat tahunan di AS, kemungkinan perubahan kebijakan selalu terbuka.
Hal ini menciptakan ketidakpastian dalam kerja sama jangka panjang, tidak hanya bagi UNESCO, tetapi juga organisasi internasional lainnya yang bekerja dengan AS.