Afrika Selatan baru saja memperkenalkan sebuah cara yang tidak biasa namun inovatif dalam menyelamatkan spesies badak dari ancaman perburuan liar. Alih-alih membangun pagar listrik atau memperbanyak patroli bersenjata, ilmuwan di sana memilih metode yang terdengar kontroversial: menyuntikkan zat radioaktif ke dalam cula badak.
Sekilas, cara ini memang terdengar ekstrem. Tapi di balik itu, tersimpan strategi yang sangat cerdas dan bertujuan baik. Dengan pendekatan ilmiah yang sudah melalui berbagai uji coba, langkah ini menjadi harapan baru bagi masa depan konservasi satwa langka.
Mengapa Cula Badak Jadi Target Perburuan?
Badak dikenal sebagai hewan yang jinak, namun sering kali menjadi korban perburuan karena satu hal: cula mereka. Cula badak diyakini memiliki khasiat medis, terutama dalam kepercayaan tradisional di beberapa negara Asia. Selain itu, statusnya sebagai barang langka membuatnya jadi simbol status sosial bagi sebagian kalangan kaya.
Fakta tragisnya, cula badak bisa dihargai lebih mahal dari emas di pasar gelap. Inilah yang membuat badak terus diburu, meskipun sudah dilindungi hukum internasional. Ribuan badak telah tewas hanya untuk cula yang sebetulnya hanyalah keratin—zat yang sama dengan kuku manusia.
Solusi Tak Biasa: Suntikan Radioaktif
Metode yang dikembangkan para ilmuwan Afrika Selatan ini dikenal sebagai bagian dari “Rhisotope Project”. Tujuannya bukan membuat cula jadi berbahaya, tetapi menjadikannya bisa dideteksi oleh alat pemindai radiasi yang tersebar di seluruh dunia—terutama di bandara, pelabuhan, dan perbatasan negara.
Dengan menyuntikkan isotop radioaktif dalam dosis sangat rendah, cula badak akan terdeteksi jika diselundupkan melalui jalur mana pun. Bahkan jika cula tersebut disembunyikan di dalam kontainer besar, sinyalnya akan tetap muncul di sistem deteksi yang biasanya digunakan untuk mengidentifikasi bahan nuklir.
Apakah Ini Berbahaya untuk Badak?
Tentu saja, kekhawatiran utama masyarakat adalah soal keselamatan hewan. Tapi pihak ilmuwan menjamin bahwa zat yang digunakan tidak membahayakan kesehatan badak. Dosisnya sangat kecil, dan hanya akan bereaksi terhadap alat deteksi radiasi, bukan memancarkan efek negatif bagi tubuh hewan tersebut.
Dalam uji coba selama beberapa tahun terakhir, puluhan badak telah menerima suntikan ini. Hasilnya positif. Tidak ditemukan perubahan perilaku atau gejala fisik yang mengindikasikan efek samping. Proses penyuntikannya pun dilakukan oleh dokter hewan profesional dan di bawah pengawasan ketat.
Tujuan Utama: Bikin Cula Jadi Tak Berharga
Selain mendeteksi pergerakan ilegal, ada strategi psikologis lain di balik proyek ini. Dengan menyebarkan informasi bahwa cula badak telah “terkontaminasi” zat radioaktif, diharapkan permintaan terhadap cula badak akan menurun secara drastis.
Bayangkan jika pembeli tahu bahwa barang yang mereka beli bisa memicu detektor di perbatasan atau bahkan menimbulkan risiko radiasi saat dipakai sebagai obat tradisional. Perlahan tapi pasti, nilai pasar cula bisa turun dan para pemburu akan kehilangan minat karena tak ada lagi keuntungan.
Prosesnya Seperti Apa?
Prosedur penyuntikan dilakukan dengan cara menembus cula menggunakan alat khusus yang bisa menjangkau bagian dalam tanduk. Kemudian zat radioaktif dimasukkan ke titik yang sudah ditentukan agar penyebarannya merata. Proses ini berlangsung hanya beberapa menit, dan badak tidak perlu dibius total.
Setelah disuntik, cula akan memiliki tanda radiasi yang bisa bertahan selama bertahun-tahun. Ilmuwan memperkirakan bahwa tanduk yang telah disuntik akan tetap terdeteksi bahkan saat sudah diubah bentuk atau dipisahkan dari tubuh badak.
Apa yang Terjadi Jika Cula Itu Tetap Dicuri?
Jika pemburu tetap nekat dan berhasil mengambil cula dari badak, maka setiap kali cula itu melewati alat pemindai radiasi, alarm akan berbunyi. Baik itu di bandara, pelabuhan kargo, atau tempat penyimpanan, sinyal radiasi akan langsung diketahui oleh pihak berwenang.
Itu sebabnya metode ini dipandang sangat cerdas. Karena tanpa perlu membangun sistem pengawasan baru, para ilmuwan justru memanfaatkan sistem keamanan yang sudah ada di seluruh dunia. Hal ini tentu mempercepat penerapannya dan menekan biaya.
Tantangan dalam Penerapannya
Meski terlihat menjanjikan, metode ini tetap punya tantangan. Salah satunya adalah biaya dan tenaga kerja. Tidak semua suaka margasatwa memiliki akses ke alat penyuntik atau dokter hewan ahli. Selain itu, transportasi dan penyimpanan isotop memerlukan izin khusus.
Tantangan lainnya adalah resistensi dari kelompok konservasi tradisional yang merasa bahwa metode ini terlalu “modern” dan berisiko. Namun dengan edukasi yang tepat, kekhawatiran tersebut bisa perlahan diredam, apalagi jika terbukti efektif.
Potensi Diterapkan di Negara Lain
Jika proyek ini sukses, bukan tidak mungkin negara lain akan mengikuti langkah serupa. Termasuk Indonesia, yang masih memiliki badak Jawa dan badak Sumatera—dua spesies yang jauh lebih langka daripada badak Afrika.
Tapi tentu penerapannya harus disesuaikan dengan kondisi lokal. Mulai dari infrastruktur, dukungan pemerintah, hingga kesiapan SDM. Namun sebagai inspirasi, metode ini bisa jadi contoh bahwa teknologi dan konservasi bisa berjalan beriringan.
Apakah Ini Etis?
Pertanyaan soal etika juga mengemuka. Apakah hewan boleh disuntik zat radioaktif hanya demi kepentingan manusia? Apakah metode ini tidak melanggar prinsip kesejahteraan satwa?
Namun dalam diskusi etika, perlu dilihat dampak keseluruhan. Jika cara ini bisa menyelamatkan ribuan badak dari pembantaian brutal setiap tahun, maka tindakan preventif seperti ini bisa dibenarkan. Terlebih jika dilakukan secara aman dan tanpa rasa sakit.
Masa Depan Konservasi: Teknologi Jadi Kunci?
Dulu, konservasi hanya mengandalkan patroli manual dan edukasi publik. Tapi seiring berkembangnya zaman, perlu pendekatan yang lebih adaptif dan kreatif. Termasuk melibatkan dunia sains dan teknologi untuk menyelamatkan spesies yang terancam.
Penggunaan radioaktif mungkin terdengar aneh saat ini, tapi bisa jadi inilah langkah pertama menuju era konservasi modern. Di mana teknologi canggih tidak hanya dipakai untuk manusia, tapi juga untuk melindungi makhluk lain yang berbagi dunia ini bersama kita.