BRICS Jadi Sorotan, Trump Langsung Naik Pitam
Dalam pertemuan tingkat tinggi negara-negara BRICS awal Juli ini, muncul banyak sorotan mengenai posisi negara berkembang dalam peta geopolitik dunia. BRICS, yang awalnya terdiri dari lima negara (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), kini semakin meluas dengan sejumlah negara baru bergabung, termasuk Indonesia.
Namun, tak lama setelah pertemuan itu berakhir, mantan Presiden AS Donald Trump kembali mencuri perhatian. Ia mengumumkan rencana untuk memberlakukan tarif tambahan sebesar 10 persen terhadap negara-negara yang dianggap menyelaraskan diri dengan kebijakan “anti-Amerika” dari BRICS.
Ancaman ini kontan memicu kegelisahan pasar global. Dan ya—Indonesia termasuk negara yang disebut-sebut akan terdampak langsung dari langkah kontroversial ini.
Indonesia di Tengah Pusaran BRICS dan AS
Sebagai negara yang belum lama bergabung dengan BRICS, posisi Indonesia saat ini ibarat berjalan di atas tali. Di satu sisi, BRICS menawarkan peluang kolaborasi ekonomi yang luas dengan negara-negara mitra non-Barat. Di sisi lain, ketergantungan perdagangan Indonesia terhadap pasar Amerika Serikat masih cukup besar, terutama dalam ekspor komoditas utama seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan hasil bumi.
Jika benar tarif tambahan 10 persen diterapkan, bukan tidak mungkin akan ada gangguan serius terhadap arus perdagangan dan stabilitas harga ekspor.
Apa Sebenarnya yang Dipersoalkan?
Trump dalam pernyataannya menyebut bahwa negara-negara yang menyatakan dukungan atau bergabung dengan BRICS akan dianggap berada dalam posisi yang tidak bersahabat terhadap kepentingan Amerika. Meskipun pernyataan ini belum diikuti dengan kebijakan resmi, sinyal politik sudah jelas: siapa pun yang ikut dalam “kerumunan BRICS” bisa jadi target sanksi perdagangan.
Yang membuat situasi makin rumit, Trump juga memberikan batas waktu yang sangat sempit untuk negosiasi: sekitar satu bulan ke depan. Jika tidak ada kejelasan atau kompromi, tarif bisa langsung diberlakukan tanpa proses panjang.
Apa Dampaknya Bagi Ekspor Indonesia?
Jika ancaman tarif ini menjadi nyata, sejumlah sektor ekspor Indonesia akan langsung terkena imbas. Beberapa sektor yang berpotensi terdampak antara lain:
- Tekstil dan Produk Garmen: Selama ini menjadi tulang punggung ekspor ke AS, dengan nilai miliaran dolar tiap tahun.
- Elektronik dan Komponen: Produk seperti kabel, sirkuit cetak, dan komponen gadget juga banyak dikirim ke pasar Amerika.
- Pertanian dan Perikanan: Komoditas seperti kopi, karet, udang, dan tuna juga masuk dalam kategori yang sensitif terhadap tarif tambahan.
- Produk Kayu dan Furnitur: Indonesia dikenal sebagai eksportir utama produk berbahan dasar kayu, dan AS merupakan pasar utamanya.
Kenaikan tarif 10 persen saja sudah cukup untuk membuat produk-produk ini kalah bersaing dari negara lain. Apalagi jika negara-negara pesaing seperti Vietnam, Meksiko, atau Filipina tidak dikenakan bea yang sama.
Reaksi Pemerintah Indonesia
Menanggapi situasi ini, pemerintah Indonesia memilih jalur diplomasi. Delegasi ekonomi dan perdagangan telah dikirim ke Washington untuk membuka jalur komunikasi langsung dengan otoritas AS. Fokus utama negosiasi adalah mencari jalan tengah agar tarif tidak diberlakukan atau minimal ditangguhkan.
Strategi yang sedang dijalankan antara lain:
- Memperluas Impor dari AS
Indonesia mengajukan rencana pembelian energi, bahan pangan, dan produk teknologi dari Amerika sebagai bentuk itikad baik memperkuat hubungan dagang bilateral. - Menawarkan Kesepakatan Investasi
Beberapa proyek infrastruktur dan energi terbarukan di Indonesia dibuka untuk investor Amerika, dengan harapan bisa menjadi insentif politik. - Mengevaluasi Posisi di BRICS
Pemerintah juga mulai mempertimbangkan ulang seberapa jauh komitmen Indonesia dalam blok BRICS, khususnya dalam kebijakan yang bisa dianggap terlalu berseberangan dengan AS.
Opsi Diversifikasi Pasar
Walaupun AS merupakan pasar strategis, Indonesia sebenarnya memiliki peluang untuk memperkuat ekspor ke kawasan lain. Negara-negara seperti India, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Rusia, dan bahkan negara-negara Afrika kini membuka lebih banyak pintu untuk kerja sama dagang.
Dalam jangka panjang, ancaman seperti ini justru bisa menjadi katalis bagi Indonesia untuk memperluas mitra dagang dan mengurangi ketergantungan pada pasar tunggal seperti AS.
Beberapa strategi diversifikasi yang kini sedang dikaji:
- Penguatan Perjanjian Dagang Regional
Seperti RCEP, CEPA, dan FTA dengan negara-negara non-Barat. - Pemanfaatan Jalur Dagang Digital
E-commerce lintas negara bisa menjadi solusi praktis untuk memperluas jangkauan produk UMKM ke pasar global. - Sertifikasi Produk Berbasis Hijau
Agar bisa menembus pasar Uni Eropa dan negara-negara yang punya regulasi ketat soal keberlanjutan.
Sikap Pelaku Usaha
Pelaku industri dan eksportir di dalam negeri menyambut waswas kabar ini. Banyak di antara mereka yang sudah memiliki kontrak tahunan dengan pembeli di AS, dan beban tarif baru tentu saja bisa mengganggu struktur harga.
Beberapa perusahaan sudah mulai menghitung ulang biaya logistik, biaya produksi, dan risiko nilai tukar, serta menyiapkan opsi untuk memindahkan sebagian ekspor ke pasar alternatif.
Namun sebagian lainnya memilih menunggu kejelasan sikap resmi dari AS, karena sejauh ini baru sebatas pernyataan politik dari satu tokoh.
Trump dan Retorika Ekonomi Nasionalis
Ancaman tarif ini sebenarnya bukan hal baru. Trump sejak masa kampanye pertama dikenal sebagai pendukung kuat kebijakan perdagangan proteksionis. Ia pernah memberlakukan tarif tinggi terhadap baja dan aluminium dari China, dan beberapa kali berseteru dengan WTO.
Retorika ekonomi nasionalis yang mengutamakan produk dalam negeri dan mendorong industri manufaktur lokal kembali menjadi andalannya, terutama menjelang pemilu berikutnya.
Artinya, keputusan terkait tarif ini bukan hanya soal perdagangan, tapi juga strategi politik dalam negeri Amerika.
Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?
Indonesia punya beberapa pilihan untuk merespons ancaman ini secara strategis:
- Percepat Diplomasi dan MoU Dagang Bilateral
Jangan tunggu sampai kebijakan tarif diberlakukan. Segera capai kesepakatan dagang baru dengan AS. - Perkuat Branding Produk Ekspor
Pastikan kualitas, sertifikasi, dan nilai tambah produk ekspor Indonesia diakui dan dibutuhkan secara global. - Manfaatkan Keanggotaan BRICS Secara Bijak
Jadikan BRICS sebagai platform ekonomi, bukan panggung politik. Fokus pada kolaborasi yang tidak memicu konflik dengan pihak lain. - Dorong UMKM Go Global
Sektor UMKM bisa menjadi kunci pertumbuhan ekspor jangka panjang dengan dukungan logistik, pelatihan, dan digitalisasi.