Pendaki Asal Brasil Tewas di Gunung Rinjani, Keluarga Siap Gugat Internasional
Sebuah tragedi yang menyita perhatian dunia terjadi di jalur pendakian Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Seorang pendaki asal Brasil bernama Juliana Marins dilaporkan jatuh ke jurang saat mendaki bersama rombongan pada pertengahan Juni 2025. Kabar duka ini tak hanya mengejutkan publik, tetapi juga memicu kemarahan dari pihak keluarga korban yang menganggap insiden ini sebagai bentuk kelalaian dari pihak otoritas setempat.
Kini, keluarga besar Juliana tengah mempertimbangkan langkah hukum secara internasional untuk mencari keadilan atas insiden tragis tersebut. Polemik ini menimbulkan sorotan terhadap sistem pengelolaan jalur pendakian di Indonesia dan upaya penyelamatan yang dilakukan saat keadaan darurat terjadi di pegunungan.
Kronologi Kecelakaan
Peristiwa ini bermula saat Juliana bersama beberapa rekannya memulai pendakian ke puncak Rinjani melalui jalur Senaru. Dalam kondisi cuaca yang cukup baik, rombongan sempat mencapai titik istirahat di Plawangan Sembalun sebelum insiden terjadi. Menurut informasi yang beredar, Juliana terpeleset saat melewati jalur curam menuju kawasan kawah dan jatuh ke jurang sedalam ratusan meter.
Upaya pencarian langsung dilakukan oleh tim SAR gabungan bersama pemandu lokal. Namun, medan yang sulit serta cuaca buruk menyulitkan proses evakuasi. Pihak keluarga menyampaikan bahwa informasi yang mereka terima sangat minim, dan sempat terjadi keterlambatan dalam pengerahan tim penyelamat.
Teknologi Ikut Dikerahkan
Untuk mengatasi keterbatasan medan dan visibilitas, tim pencari sempat menggunakan drone thermal guna melacak keberadaan Juliana. Pada hari ketiga pencarian, drone berhasil mendeteksi titik panas yang diyakini sebagai tubuh korban. Namun, butuh waktu tambahan beberapa hari lagi untuk mengevakuasi jasadnya karena lokasi jatuh berada di celah tebing yang sangat sulit dijangkau secara manual.
Meski teknologi sudah diterapkan, keluarga korban tetap menyoroti keterlambatan dalam penyelamatan. Mereka menilai proses evakuasi tidak dikoordinasikan secara cepat dan efektif sejak laporan pertama diterima. Kondisi ini diperparah oleh tidak adanya tim medis yang siaga di pos pendakian terdekat, menurut klaim keluarga.
Reaksi Keluarga Korban
Merasa tidak puas dengan penanganan insiden ini, keluarga besar Juliana yang berada di Brasil mengaku tengah berkonsultasi dengan penasihat hukum untuk mengajukan gugatan ke lembaga internasional. Mereka menilai bahwa kematian Juliana bisa dicegah apabila protokol keselamatan pendakian dijalankan dengan lebih baik.
Keluarga menyebut bahwa akan menempuh jalur hukum melalui Komisi HAM Antar-Amerika, dengan dasar dugaan pelanggaran terhadap hak atas keselamatan wisatawan asing. Langkah ini diyakini sebagai bentuk tanggung jawab moral mereka untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan.
Potensi Tegangan Diplomatik
Langkah hukum yang diambil keluarga Juliana diperkirakan bisa berdampak terhadap hubungan diplomatik antara Brasil dan Indonesia. Meski hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari kedua pemerintah, tekanan publik di Brasil terhadap pemerintah mereka agar mengambil sikap mulai menguat.
Hal ini tentu menjadi perhatian serius bagi Indonesia, mengingat insiden semacam ini dapat berpengaruh besar pada citra pariwisata nasional, khususnya wisata berbasis alam seperti pendakian gunung. Apabila Indonesia dinilai abai terhadap keselamatan turis asing, kepercayaan wisatawan internasional bisa menurun drastis.
Evaluasi Keselamatan Jalur Pendakian
Setelah insiden ini mencuat, banyak pihak mulai mempertanyakan standar keselamatan jalur pendakian di Indonesia. Apakah jalur-jalur populer seperti Rinjani sudah dilengkapi dengan sistem peringatan dini, komunikasi darurat, dan petugas yang siap siaga 24 jam?
Beberapa pendaki yang pernah menjajal jalur yang sama mengaku bahwa meskipun pemandangan sangat indah, kondisi fisik jalur kadang membahayakan, terutama di musim pancaroba. Jalur yang sempit, licin, serta minim pagar pembatas menjadi ancaman tersendiri bagi pendaki, apalagi yang belum terbiasa dengan medan ekstrem.
Permasalahan lain yang turut disorot adalah sistem izin pendakian yang dinilai terlalu longgar. Tidak semua pendaki diberi briefing keselamatan secara detail, dan minimnya edukasi soal bahaya jalur sering kali membuat pendaki lengah.
Tanggung Jawab Pengelola Taman Nasional
Gunung Rinjani merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Tanggung jawab utama terhadap pengelolaan jalur dan keselamatan pendaki ada di pundak institusi ini.
Namun, dalam praktiknya, jumlah petugas yang terbatas membuat pengawasan terhadap ribuan pendaki tiap bulan jadi tidak optimal. Belum lagi urusan koordinasi antara pihak pengelola, SAR, dan pemerintah daerah yang masih sering tumpang tindih.
Sudah saatnya sistem pendakian di Indonesia ditinjau ulang, dengan fokus pada keselamatan, bukan hanya promosi wisata. Perlu ada regulasi yang mewajibkan keberadaan pemandu bersertifikasi untuk setiap turis asing, terutama yang berasal dari luar Asia Tenggara.
Perspektif Pemandu dan Porter Lokal
Di sisi lain, para porter dan pemandu lokal juga menyuarakan keprihatinan mereka. Banyak dari mereka merasa tidak dilibatkan dalam penyusunan SOP evakuasi, padahal mereka adalah orang yang paling mengenal medan.
Sebagian besar porter bekerja tanpa asuransi atau pelatihan formal, sehingga jika terjadi insiden, mereka juga dalam posisi rentan. Peristiwa ini memunculkan kembali wacana pentingnya pelatihan rutin dan perlindungan hukum bagi tenaga kerja pariwisata ekstrem di lapangan.
Dampak Terhadap Industri Wisata
Insiden kematian Juliana tentu menjadi pukulan berat bagi pariwisata NTB. Dalam beberapa tahun terakhir, Gunung Rinjani menjadi destinasi favorit wisatawan dari Eropa dan Amerika Latin. Keindahan pemandangan kawah danau Segara Anak menjadi magnet tersendiri.
Namun, jika isu keselamatan tidak segera dibenahi, besar kemungkinan akan terjadi penurunan minat kunjungan. Hal ini bukan hanya berdampak pada pendapatan daerah, tetapi juga pada nasib ribuan warga lokal yang bergantung pada industri ini.
Pemerintah perlu segera membuat langkah konkret untuk merestorasi kepercayaan wisatawan asing. Audit menyeluruh terhadap jalur pendakian, peningkatan fasilitas SAR, serta edukasi terhadap pendaki menjadi kunci agar insiden serupa tak terulang.
Penutupan Jalur Sementara
Sebagai respons awal, jalur pendakian Rinjani ditutup sementara sejak akhir Juni 2025. Penutupan ini dilakukan untuk memberi waktu bagi proses evakuasi dan penyelidikan insiden secara tuntas. Meski menuai keluhan dari beberapa agen wisata, langkah ini dinilai tepat demi memastikan keamanan di lapangan.
Keputusan penutupan juga memberi ruang bagi pihak pengelola untuk mengevaluasi kembali seluruh infrastruktur pendakian. Dalam waktu dekat, diharapkan akan ada pembaruan sistem, termasuk pemasangan pagar pengaman dan alat komunikasi darurat di titik-titik rawan.
Pelajaran untuk Ke Depan
Tragedi yang menimpa Juliana menjadi cermin bahwa pariwisata ekstrem tidak bisa disepelekan. Diperlukan standar keamanan yang setara dengan negara-negara maju, terlebih jika Indonesia ingin serius menjadi destinasi wisata kelas dunia.
Kasus ini juga menunjukkan pentingnya koordinasi lintas lembaga, baik di tingkat lokal, nasional, hingga internasional. Kejadian yang menimpa satu pendaki asing bisa berubah menjadi isu diplomatik, jika tidak ditangani dengan sensitif dan profesional.
Pemerintah pusat harus menjadikan ini sebagai momentum perbaikan. Jangan sampai tragedi ini hanya menjadi headline sesaat, tanpa ada langkah nyata untuk mencegah kejadian serupa.